Tulisan ini saya kutip dari karya ilmiah Ahmad Guntar, semoga ada manfaatnya bagi anda yang membacanya :
Pengembangan diri memiliki makna yang kunci pada kata “diri”, yakni bahwa ini adalah terkait pada peletakan tanggung jawab pada diri sendiri, tanpa perlu menyalahkan kondisi, orang lain dan entitas apapun di luar diri. Terkesan sederhana, ini malah jadi tantangan bagi mereka yang suka memandang tinggi dirinya sendiri, yang suka sekali menasehati orang lain sambil terus merasa bahwa dirinya sudah okei dan baik-baik saja.
Padahal pengembangan diri hanya akan bisa terjadi manakala seseorang masih miliki kehausan dan menyadari bahwa dari dirinya masih ada bagian yg bisa dikembangkan. Pengembangan diri menuntut adanya penginvestasian yang mahal pada diri sendiri. Pada diri sendiri? Apakah ini egois? Tentu saja tidak. Dengan mengembangkan diri sendiri, maka kapasitas dan potensi diri kita untuk menolong orang lain pun juga akan meningkat.
Pengembangan diri merupakan sebuah sikap proaktif untuk selalu mencari gagasan dan cara-cara mencapai kebaikan diri. Sebagaimana yang kita mustinya telah sadari, pendidikan formal bukanlah penuntas pembelajaran menuju kebesaran diri & kontribusi. Apalagi pendidikan formal biasanya tidak mengajarkan kita pada kompetensi sukses semisal bagaimana menjalin hubungan, membangun karir, menjadi orang tua yang baik, mencapai kebahagiaan, dsb.
Nah, biasanya keberhasilan dari metodologi pengembangan diri apapun dilihat dari dua sikap yang terbentuk di dalam prosesnya, yakni penerimaan dan ketidakpuasan.
Setiap teknik pengembangan diri pasti akan mengajarkan Anda untuk menerima diri Anda apa adanya. Bahwa banyak hal yang bisa disyukuri dan mustinya kita terima saja bagaimana adanya. Jika ada model pengembangan diri yang tidak mengajarkan kita bersikap seperti itu, berarti ada yang salah di sana.
Sebagaimana yang kita telah ketahui, manusia terdiri dari entitas ruh dan jasad. Sementara apa-apa yang bisa dilakukan oleh keduanya salah satunya adalah membangun kompetensi berupa pengetahuan, keterampilan, dan mentalitas.
Kombinasi ruh dan jasad adalah paket baku, kita tak bisa mengubahnya. Kita tidak bisa memilih atau mengubah jasad yang ditumpangi oleh ruh kita; ingin berjasad seperti david beckham? Tentu tidak bisa. Lebih jauh lagi, jasad biasanya datang dalam sebuah paket genetis (atau kelengkapan fisik) yang mengarah pada kepemilikan atau ketidakpemilikan kompetensi tertentu. Lance Armstrong lahir dengan kapasitas paru-paru lebih besar ketimbang orang kebanyakan, dan juga kepemilikan hormon metabolisme di atas rata-rata yang membuat dia bisa lebih bertahan dalam aktivitas fisik yang melelahkan. Selain dia, banyak juga orang yang lahir ke dunia dengan kemudahan untuk mempelajari dan menguasai kompetensi tertentu di bidang olahraga, musik, bahasa ataupun yang lainnya. Kita biasa menyebutnya sebagai bakat. Inilah bagian yang harus ditemukan, diterima dan disyukuri bagaimana apa adanya.
Namun kemudian, bakat itu seringkali hadir dalam paket mentah. Dia ada untuk diolah kemudian, untuk disempurnakan. Adalah tugas kita untuk membuatnya jadi matang, dan di sinilah ranah pengembangan diri berada. Maka pengembangan diri biasanya dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan kekuatan bakat dan potensi yang sejak awal dihadiahkan dan kita perlu terima apa adanya. Ibaratnya, Tuhan menghadirkan diri kita masing-masingnya dengan paket yang berbeda; ada yang dibawakan kepadanya alat lukis, pena dan kertas, ataupun yang lainnya. Maka setelah kita menerima bawaan kita itu apa adanya, maka dari situ tugas kita adalah memaksimalkan potensinya hingga bisa menjadi lukisan atau tulisan yang indah.
Talent-Based Personal Development; begitulah saya mengistilahkannya.
Bahwa pengembangan diri harusnya disesuaikan dengan bakat dan anugerah bawaan atau yang kita dicenderungkan padanya oleh Tuhan, dan bahwa perubahan menjadi lebih baik itu sifatnya adalah personal dalam hal inisiatif dan kemandirian.
Sehingga dengan perbedaan modal dasar yang dibawa oleh setiap orang, maka tidaklah bijak bila kita menjiplak impian orang lain; “Saya pengen jadi seperti dia”. Karena setiap kita tidaklah dilahirkan dan dicenderungkan potensinya oleh Tuhan secara sama. Meneladani orang lain adalah baik, asal titik tekan kita adalah pada kompetensi general -misal bagaimana dia menghadapi gagal, bagaimana kiat membentuk kebiasaan efektif, dsb- dari proses dia dalam meraih sukses. Bukan hasil akhirnya yang diteladani, melainkan kompetensi dalam proses meraihnya.
Jika kita kemudian mencoba membandingkan diri, maka bandingkanlah diri kita yang sekarang dengan yang mendatang. Dengan beginilah kita akan benar-benar bisa bersesuaian dg kaidah “Hari ini harus lebih baik ketimbang kemarin” dan bukannya “Besok saya harus lebih baik ketimbang dia yang sekarang”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar